Sejarah Burasa Bugis Makassar

Pada zaman dahulu, lelaki Bugis dan Makassar suka merantau mereka berlayar ke pelosok Nusantara untuk mengumpulkan rezeki termasuk uang pannaik. Orang - orang menjuluki mereka sebagai pelaut ulung dan perantau handal.
Setiap ingin berlayar dan merantau, lelaki Bugis dan Makassar membawa bekal berupa nasi dan ikan. Namun bekalnya tak bertahan lama dan cepat basi. Hal itu membuat mereka kehabisan tenaga sebelum sampai tujuan.
Untuk mengatasi masalah ini, para wanita mencari solusi pengganti bekal laut dan perantau. Mereka mulai memasak beras ketan yang terbungkus daung pisang, kemudian direbus lama agar tidak cepat basi.
Akhirnya pada hari itu, lahirlah masakan baru bernama Burasa sebuah lontong santan berbentuk pipih khas Sulawesi Selatan Aroma daun pisang, garam dan santan menyatu dalam beras membuat Burasa lebih gurih dibandingkan ketupat.
Makan filosofi dari Burasa yaitu penyatuan dan solidaritas supaya bisa membentuk nilai sipakatau ( saling menghargai ) sipakalebbi ( saling memuliakan ) dan sipakainge ( saling mengingatkan ) dalam keluarga dan kehidupan sosial. 
Bagi masyarakat Bugis dan Makassar, membuat Burasa sudah tradisi terutama ingin merantau atau berpergian jauh. Makanan ini juga disebut sebagai "bokong na passompe e" artinya bekal para perantau. Diperkirakan Burasa sudah ada sejak abad ke - VIII.
Sehari menjelang idul Fitri Masyarakat Sulawesi Selatan punya tradisi yang disebut " Ma' Burasa " yaitu tradisi memasak Burasa beramai ramai bersama keluarga maupun tetangga. Burasa akan di hidangkan saat lebaran untuk tamu di hari raya. 
Mengikat Burasa punya seni dan butuh keterampilan, istilahnya itu "Massio' Burasa. Tali pada ikatan Burasa mewakili tali silaturahmi yang di perkuat menjelang Idul Fitri. Tali itu juga menjadi simbol ikatan batin antara perantau dan keluarganya itulah sebabnya saat mengikat Burasa ikatannya harus kuat. 
Setinggi apapun sekolahmu, pulanglah mengikat Burasa maknanya sejauh apapun kita melangkah, jangan pernah lupa keluarga dan adat budaya di kampung halaman. Sejak kecil dulu tali Burasa telah mengikat hari, tersimpul mati, wujudkan jiwa petarung sejati demi bakti untuk orang tua yang tak tergantikan.

Burasa ada dua jenis, pertama Burasa koa dan kedua Burasa Pulu ( Tumbu ). Burasa koa terbuat dari beras biasa sedangkan Burasa Pulu ( Tumbu ) terbuat dari beras ketan dan bentuknya lonjong.
Dahulu kala, sebelum masyarakat Bugis dan Makassar menggunakan tali rafiah, mereka menggunakan daun palm liar atau disebut daun Aka' sejenis tumbuhan hutan dan daerah kering. Aroma daun Aka' ini membuat Burasa lebih wangi dan gurih karena cocok dengan perpaduan daun pisang yang membungkusnya. 
Nenek moyang Bugis dan Makassar dulu memasak Burasa menggunakan tungku tanah liat. Caranya agar tidak cepat basi yaitu Burasa dimasak dua kali kering airnya dan butuh maksimal sembilan jam di rebus. 
Karena begitu gurih, warga biasanya malas makan nasi saat lebaran. Tanah Bugis dan Makassar, kita jarang sekali menjumpai ketupat di hari raya melainkan kita banyak di jamu menggunakan Burasa.
Alasan kenapa Burasa sangat cocok dengan bekal perantau atau bekal perjalanan jarak jauh karena isinya begitu gurih jadi tidak membutuhkan lauk yang mewah. Cukup dengan
 lauk sederhana bahkan sambel pun bisa sehingga tidak merepotkan para perantau.

Sumber : IG : wajoinformasi

Comments

Popular posts from this blog

APPABOTTINGENG RI TANAH UGI II( PERKAWINAN DI TANAH BUGIS )

Mahar Bugis ( Dui Pappenre )

FILSAFAT ORANG BUGIS SEBELUM MERANTAU ( TIGA UJUNG )